Anda ingin merasakan masakan ikan buntal atau sering juga disebut ikan bluntak? Datanglah ke restoran Zuboraya, Do Ton Buri, Osaka, Jepang. Tapi jangan kaget, harga per paket masakan tersebut 10.500 yen atau sekitar Rp 840.000. Itu saja tiap paket ikan bluntaknya (di Jepang disebut ikan fugu), cuma sekitar dua ons. Lainnya berupa cumi, udang, tofu atau tahu khas Jepang yang lembek. Paket itu dilengkapi pula oleh sayur, semangkuk nasi, buah, dan es krim. Tapi kadangkala soal harga menjadi nomor sekian kalau kita mencari sensasi baru sekaligus mencerap suasana eksotis ketika mencicip suatu menu asing. Apalagi rasa ikan fugu itu memang lezat, gurih agak manis. Jadi wajar benar, di kalangan masyarakat Jepang muncul ungkapan yang berkaitan dengan ikan tersebut: “Mereka yang memakan sup fugu itu bodoh. Tetapi mereka yang tidak memakannya juga bodoh.”
Ungkapan itu memang bisa dimengerti. Mengapa? Di satu sisi ikan itu memang lezat, tetapi di sisi satunya ia sangat berbahaya. Jika cara membersihkan ikan itu tidak benar, bisa berujung maut.
Racun yang terkandung di perut ikan fugu jauh lebih mematikan dibanding sianida, bahkan mampu membunuh antara 24 hingga 30 orang manusia sekaligus. Hal tersebut dikarenakan di dalam badan ikan buntal, terutama di bagian hati dan empedu terdapat sejenis toksin tetrodoxin. Racun itu berasal dari makanannya. Makanan ikan fugu ini adalah mikroorganisme tertentu yang menyebabkan bagian dalam tubuh ikan ini mengandung racun.
Dipotong Menyilang
Soal kelezatan ikan tersebut memang bukan bualan. Apalagi memang tak sulit mencari rumah makan yang menyajikan menu tersebut. Itu misalnya dijumpai di beberapa rumah makan di Kawasan Do Ton Buri. Sebagian memajang menu lengkap di etalase, dan ada juga yang meletakkan akuarium berisi ikan fugu di depan restoran.
Pilihan racikannya bergantung pengunjung. Mau digoreng oke, dibakar atau direbus juga bisa. Lebih asyiknya lagi, pengunjung sendirilah yang memasaknya. Di tiap meja, ada kompor gas plus peralatan memasak.
Shigonobu Oyama, pemilik Zuboraya, mengatakan fugu diambil dari nelayan di sekitar Pulau Honshu. Sebelum disajikan ikan dipotong menyilang. Seluruh isi perutnya dibuang sebelum mengelupas kulit, terutama pada bagian kepala.
“Ikan jenis ini memang beracun. Tetapi jika cara membersihkannya benar, aman dikonsumsi. Rasanya lezat dan khas,” jelas Oyama.
Kaosao Ichiro, seorang pelayan rumah makan ikut menambahi informasi mengenai ikan tersebut. Dia bilang, di perairan laut Jepang ada sekitar 40 jenis fugu. Dari jumlah sebanyak itu, hanya jenis Torafugu robripes yang bisa dikonsumsi.
Perlu diketahui, tak sembarang orang bisa membuat hidangan fugu. Prosesnya tak mudah. Hanya orang yang benar-benar terlatih dan berlisensi yang diperbolehkan. Sebelumnya mereka dilatih mengenai cara menangkap, memotong, membersihkan dan memasak, kemudian diharuskan memakan hasil masakannya.
“‘Faktor kesulitan menyajikan hidangan inilah yang menyebabkan ikan fugu menjadi salah satu menu termahal di Jepang,” tandas Ichiro.
Bagian kepala fugu disajikan dalam bentuk fillet atau irisan daging tipis. Pada bagian badan, cuma dagingnya yang diambil. Siripnya disendirikan, dan biasanya digoreng dan dihidangkan dalam sake panas. Masakan ini dinamakan fugu hire-zake.
“Kelezatan menu ikan fugu terletak pada rasa dan teksturnya. Jika direbus dagingnya menjadi kenyal.”
Masa panen ikan ini biasanya bersamaan dengan musim semi. Pada masa itu fugu memasuki musim kawin dan bertelur. Pada pertengahan musim semi, mereka mulai memijah. Di antara pemilik rumah makan, ada yang melakukan pembesaran sendiri anak fugu di karamba dengan makanan ikan segar. Ada juga yang membeli dari pasar dalam kondisi hidup, kemudian dipelihara di akuarium.
Di Indonesia ikan bluntak jenis itu juga banyak ditemukan, tetapi umumnya belum dijadikan menu untuk dikonsumsi. Di Semarang, spesies itu masuk kelompok ikan hias yang dipelihara di akuarium air laut, karena bentuknya lucu dan jika dipegang perut akan menggelembung menyerupai bola. Biasanya ikan tersebut didatangkan dari Banyuwangi atau Bali. Sedangkan di Karimunjawa, ikan jenis itu dipelihara di karamba, juga sebagai ikan hias, yang berat tiap ekornya bisa dua atau tiga kilogram.
Di pasar ikan tradisional Tambaklorok Semarang, ada juga yang menjual salah satu jenis ikan buntal. Kebanyakan orang menyebut bluntak pisang, bukan fugu. Ikan tersebut aman dikonsumsi asal memotongnya benar.
“Kalau selama ini banyak orang meninggal setelah makan ikan bluntak, itu akibat tak tahu cara memotongnya,” ungkap seorang bakul ikan di Tambaklorok.
Perbedaan cara mengonsumsi ikan bluntak pisang dengan fugu adalah proses pemotongannya. Kalau fugu dipotong menyilang di bagian perut, sedang bluntak pisang yang terbuang setengah badan lebih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar