Senin, 19 Desember 2011

REMAINS OF THE DAY



Anjing yang dioseng-oseng maupun dirica-rica atau diolah dengan cara apapun untuk sebagian kalangan disebut kuliner ekstrem, untuk sebagian lainnya lebih bersifat harian ketimbang jagung rebus. Maka kini tak sulit menembus pusat penjagalan anjing karena hidangan berbahan dasar daging anjing tak lagi hadir di warung yang nyempil dan remang-remang.

Pelahapnya juga rupawan dan bermobil, tidak terbatas pada kaum sangar berjaket kulit tebal atau kaos kutung. Tak adanya penolakan yang tegas menjadikan Darto (nama samaran) berani menjadi pioner warung makan spesialis sengsu dengan jam buka tak kalah pagi dari warung soto dan interioradem berselera sebagaimana tempat ideal untuk menenggak teh poci. Terobosan Darto berbuah manis: putrinya – kita sebut saja Niken – bisa melanjutkan studi di satu universitas swasta yang tergolong populer di Jogja, di fakultas yang mestinya mahal biayanya.     

Tiap hari Niken membantu usaha orangtuanya di dapur hingga meladeni langsung pelanggan. “Saya Muslim, Mbak; saya nggak pernah ikut makan,” ujarnya. Tapi Niken mengiyakan konsumen daging anjing sudah heterogen. Itu sebabnya rintisan ayahnya berkembang dan mereka harus pintar-pintar mengelola mutu karena rival makin banyak.  

Anjing juga yang menjadikan Jarot (samaran) membawa ketiga anaknya menempuh pendidikan layak. Seorang di antaranya tercatat sebagai mahasiswa universitas top di Jogja. Rumah Jarot inilah yang dikenal sebagai salah satu pemasok dan penjagalan anjing terbesar, jujukan para pengusaha kulinersengsu macam Darto. Kini Jarot punya satu truk yang tiap pekan bertugas menjemput puluhan anjing “siap panen” di Pangandaran, Jawa Barat dan mempekerjakan sejumlah karyawan, termasuk kaum wanita.

Saya bersama rekan Dian Kristiawan mengunjungi pusat bisnis Jarot ditemani seorang bakul sengsu, kita panggil saja Narimo, yang warungnya tak jauh dari tempat Darto. Agar proses ngobrol berjalan mulus Narimo menyarankan saya menggunakan Bahasa Jawa.

“Nanti bilang saja kamu keponakanku,” pesan Narimo.  Tapi Jarot tampaknya cukup terbiasa menghadapi tamu bukan dari kalangan pelanggan, kamera dan pertanyaan-pertanyaan tidak membuatnya resah dan kikuk.

Saya terusik dengan anyir yang menusuk indera. Seorang wanita dengan lihai menguliti seekor anjing, beberapa lainnya sudah digantung-gantungkan dalam wujud daging segar yang merah warnanya.

Iki dulurku, wis kono ngobrol karo juragane,” ujar Narimo memperkenalkan saya.

Nggih Pak … Eh Pakde.”

Jarot baru saja pulang dari perjalanan panjang dengan truknya. Membawa enampuluh ekor anjing. Anjing-anjing berbagai bentuk itu diperoleh dari kampung-kampung sekitar Pangandaran, kemudian disatukan di satu pool. Di Pangandaran Jarot tidak sekedar membeli dan menjemput dagangannya, ia salah seorang pemilik saham usaha joint lintas-provinsi itu.

Perjalanan pulang ke Jogja yang ditempuh sekitar delapan jam dimulai tengah malam agar anjing-anjingnya tidak kepanasan dan menjadi bangkai sebelum saatnya. Mereka ditrukkan dalam keadaan terbagor, lebih separoh tubuh dibebat karung, dan moncong dirafia kuat-kuat.

Selain beroperasi di Pangandaran Jarot memiliki jaringan di wilayah Kebumen. Penyetor dari Kebumen seringkali hanya bermotor saat mengantar pasokan daging hidup. Satu motor bisa nyangking sepuluh “paket” anjing. Jika stok  tersedia hingga tigapuluh ekor mereka menggunakan mobil.  

Tiba di tujuan, di hadapan saya, keadaan anjing-anjing itu tak berubah. Terbebat erat karung dan rafia. Kelaparan dan kehausan. Ketakutan teramat sangat. Karena sudah banyak pengantre, termasuk Narimo dan seorang utusan Darto, sebagian anjing langsung disiapkan untuk perjalanan berikutnya. Ke kematian. Sisanya disekap, dilemparkan begitu saja, di satu kamar pengap yang lembab.   


Jarot menjual mereka secara kiloan. Sekilo daging yang sudah dilucuti kulitnya berharga Rp 32.000. Yang masih hidup per kilonya limabelas ribu, bobot satu anjing biasanya 10 kilogram.  

Seorang pelanggan memilihi beberapa ekor dan menempatkannya di motor layaknya pedagang sayur keliling. Ada yang kepalanya masih tegak tapi satu di antara mereka terkulai kehilangan daya.

Sebab, di sini, nyata terdengar erangan – dan tangisan pilu. Ditengahi suara gludug! Yang begitu kencang dan bertubi-tubi. Pembantaian dilakukan satu per satu. Di hadapan sesama mereka yang menunggu hitungan. Tak ada gunanya berusaha meloloskan tubuh dan mengerang sekeras-kerasnya. Tak ada manfaatnya menatap orang-orang di sekitar mereka yang bercengkerama sembari merokok, minum teh dan tertawa-tawa membahas hal-hal lain yang sama sekali tak ada urusannya dengan belas kasih. Beberapa di antara mereka meneteskan airmata ..    

Sejak saya tiba sudah enam ekor anjing dihajar sampai mati. Dan Jarot dengan enteng bertutur pelanggannya terutama adalah pedagang sengsu se-Jogja. Namun dia juga rekanan mahasiswa yang membutuhkan anjing untuk dijadikan materi praktek, biasanya anakan. Menurut seorang penjual anjing di pasar hewan, mahasiswa bisa – dan sebagian terbiasa – menjual kembali anjing paska-praktek ke rumah jagal Jarot. Jadi anjing yang sudah (dibikin) cacat untuk kepentingan ilmu serta nilai tetap bermanfaat untuk manusia dengan dijadikan lauk.

Seekor anjing dilempar keluar dari kamar penyekapan. Ia menggonggong cukup keras karena talinya agak longgar. Gonggongannya tak kunjung berhenti. Saya pedih mendengarnya. Ia terus bergerak, karungnya melonggar, ia berusaha keras mengubah nasib ..

Saat bersamaan Jarot membanggakan truk dan mobil hasil usahanya. Hasil dagang dan jagal anjing.Saya sudah tidak interes mendengarkannya, hati saya terarah ke si anjing yang masih saja berjuang untuk terus hidup. Saya ingin melepaskan dia, membelinya hidup-hidup ..

“Pak …”     

Buoooooggg …!

Gonggongan dan upaya anjing itu untuk memilih hidup seketika mandeg.

Saya menoleh. Ya Tuhan .. saya terlambat. Dia sudah selesai.  

Seorang bapak bersinglet, pensiunan guru, yang menjatuhkan pukulan telak sebatang kayu ke kepala dan tengkuknya. “Dia mati suri, Mbak. Setelah ini baru disembelih dan dikuliti,” ulas Jarot sembari menghembus-hembuskan asap rokoknya. “Darahnya harus dikeluarkan supaya tidak cepat busuk.”

Anjing itu diseret. Mati surinya diakhiri dengan irisan di leher. Lantas ia digantungkan, kedua kaki belakang dicantelkan, masuk tahap pengulitan.

Saya lemas ..


Mahatma Gandhi berucap, “The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated”, tapi agaknya pemimpin bangsa ini merasa lebih pintar dari negarawan sejati seperti Gandhi, tapi dengan itu membiarkan warganya terjerumus ke kepentingan perut sendiri. Jadi, marilah memimpin diri sendiri menjadi manusia sejati yang senantiasa mendengarkan suara hati.

“Martabat tertinggi semua manusia terletak dalam kemampuan suara hati untuk melihat dan bertindak atas kehendak Allah,” tulis Sir Thomas More sebelum kematiannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar